re-write...
Jum’at, 9 September 2011… 02:16
160 halaman sudah terlewat selama 3 jam yg lalu. Sebuah buku yang
kusangka bakal jadi obat tidur yang bikin retina mataku bakal hilang
kesadaran. Justru membuat jemariku semangat menari melompat-lompat
memainkan tuts-tuts huruf2 alfabet pada Big Black Toshiba ku.
Kamis, 8 September 2011.
Jam 10 lewat ketika kuakiri petualangan jemariku mengelus2 screen mungil
yang membawaku menjelajah profil maya beberapa orang yang mungkin
sedang hidup dalam kemunafikan digital. Dan tak kupungkiri aku salah
satunya. Bahkan kuciptakan seseorang yang sama sekali lain hanya untuk tau
kabar seseorang nan jauh di sana tanpa harus diriku hadir untuk mengakuinya.
Otak dan ragaku telah memberi mandat untuk menghentikan semua gerak
gerik otot2 persendian lengan dan tangan. Bahkan dengan tegas memerintah
daun mata ini untuk merapatkan bibir-bibirnya. Sampai akhirnya semua
menolak. Otak dan jiwa sedang tidak sehati rupanya. Dan bagaimanapun, jiwa
itu pemenangnya. Dia tidak pernah bisa dikendalikan otak!
Segala daya upaya otak coba untuk menghipnotisnya masuk dalam alam
bawah sadar. Tapi gagal. Sesekali kelopak ini terpejam dan pikiran mulai
mencari bius yang akan meninabobokan jiwa itu.
Gelap pandangan di balik kelopak yang tertutup. Perlahan cahaya masuk dan
nampak putih menimbulkan bayangan seseorang di dalamnya. Persis. Seperti
aku mengenalinya. Dia berjalan menuju sebuah pintu. Dari balik matanya aku
dapat melihat hamparan pemandangan yang nampak seperti gambaran apa itu
surga.Dia berlari, sesekali mendengar erangan elang yang terbang tepat di
atasnya. Dia tersenyum, terdiam sejenak dan mulai merasakan gemericik air
terjun yang mengalir deras. Sejenak direbahkan tubuhnya di atas rerumput
hijau nan gemuk dan tumbuh subur seraya menengadah langit yang berkilauan
menyilau mata. Perlahan pupil itupun mengernyit dan memaksa kelopaknya
spontan untuk memejam.
Putih. Terlalu terang dan silau. Saat dirasa retina ini dapat beradaptasi
dengan sempurna, perlahan bola mata itu berontak untuk melihat dunia
keluar. Perlahan kudapati pandangan sedikit demi sedikit. Jingga. Warna
berbeda yang sekarang muncul tepat di atas mata, dengan cahaya yang redup
silau. Menyala karna aliran power yang bersumber entah berpuluh atau beratus
kilo jaraknya. Yang karna untuk melihatnya menyala harus membayarkan
sejumlah rupiah kepada Pemerintah.
Jingga atap kamar tampak polos dan telah tertidur diam kelihatannya.
Desingan memekakan telinga masih mengudara meski bulanpun telah berputar
posisi. Suara mesin-mesin kendaraan berderu serunya dari depan kamar kost
yang tepat berhadapan dengan jalan aspal. Gemericik air terjunpun hanyalah
derakan kipas tua yang entah mungkin jika di ukur dengan Sound Level Meter
mungkin saja lebih dari 85 desibel. Dan pasti kost ini semestinya tak layak
huni dalam aturan keselamatan kesehatan kerja.Dan aku masih belum paham
apa yang mengusik perasaan.
Kupinjam buku karya pena Dee punya seorang teman. Berharap ada obat bius
yang dapat meracuni otakku hingga aku mabuk kepayang hilang kesadaran…
(end at 03.03)