Jumat, 03 Februari 2012

Tentang Apa yg Ada di Otak Ku saat Insomnia


re-write...

Jum’at, 9 September 2011… 02:16

160 halaman sudah terlewat selama 3 jam yg lalu. Sebuah buku yang 

kusangka bakal jadi obat tidur yang bikin retina mataku bakal hilang 

kesadaran. Justru membuat jemariku semangat menari melompat-lompat 

memainkan tuts-tuts huruf2 alfabet pada Big Black Toshiba ku.


Kamis, 8 September 2011.

Jam 10 lewat ketika kuakiri petualangan jemariku mengelus2 screen mungil 

yang membawaku menjelajah profil maya beberapa orang yang mungkin 

sedang hidup dalam kemunafikan digital. Dan tak kupungkiri aku salah 

satunya. Bahkan kuciptakan seseorang yang sama sekali lain hanya untuk tau

kabar seseorang nan jauh di sana tanpa harus diriku hadir untuk mengakuinya.


Otak dan ragaku telah memberi mandat untuk menghentikan semua gerak 

gerik otot2 persendian lengan dan tangan. Bahkan dengan tegas memerintah 

daun mata ini untuk merapatkan bibir-bibirnya. Sampai akhirnya semua 

menolak. Otak dan jiwa sedang tidak sehati rupanya. Dan bagaimanapun, jiwa

itu pemenangnya. Dia tidak pernah bisa dikendalikan otak! 


Segala daya upaya otak coba untuk menghipnotisnya masuk dalam alam 

bawah sadar. Tapi gagal. Sesekali kelopak ini terpejam dan pikiran mulai 

mencari bius yang akan meninabobokan jiwa itu.


Gelap pandangan di balik kelopak yang tertutup. Perlahan cahaya masuk dan 

nampak putih menimbulkan bayangan seseorang di dalamnya. Persis. Seperti 

aku mengenalinya. Dia berjalan menuju sebuah pintu. Dari balik matanya aku 

dapat melihat hamparan pemandangan yang nampak seperti gambaran apa itu 

surga.Dia berlari, sesekali mendengar erangan elang yang terbang tepat di 

atasnya. Dia tersenyum, terdiam sejenak dan mulai merasakan gemericik air 

terjun yang mengalir deras. Sejenak direbahkan tubuhnya di atas rerumput 

hijau nan gemuk dan tumbuh subur seraya menengadah langit yang berkilauan 

menyilau mata. Perlahan pupil itupun mengernyit dan memaksa kelopaknya 

spontan untuk memejam.


Putih. Terlalu terang dan silau. Saat dirasa retina ini dapat beradaptasi 

dengan sempurna, perlahan bola mata itu berontak untuk melihat dunia 

keluar. Perlahan kudapati pandangan sedikit demi sedikit. Jingga. Warna 

berbeda yang sekarang muncul tepat di atas mata, dengan cahaya yang redup 

silau. Menyala karna aliran power yang bersumber entah berpuluh atau beratus 

kilo jaraknya. Yang karna untuk melihatnya menyala harus membayarkan 

sejumlah rupiah kepada Pemerintah.


Jingga atap kamar tampak polos dan telah tertidur diam kelihatannya. 

Desingan memekakan telinga masih mengudara meski bulanpun telah berputar

posisi. Suara mesin-mesin kendaraan berderu serunya dari depan kamar kost 

yang tepat berhadapan dengan jalan aspal. Gemericik air terjunpun hanyalah 

derakan kipas tua yang entah mungkin jika di ukur dengan Sound Level Meter 

mungkin saja lebih dari 85 desibel. Dan pasti kost ini semestinya tak layak 

huni dalam aturan keselamatan kesehatan kerja.Dan aku masih belum paham 

apa yang mengusik perasaan. 


Kupinjam buku karya pena Dee punya seorang teman. Berharap ada obat bius 

yang dapat meracuni otakku hingga aku mabuk kepayang hilang kesadaran…

(end at 03.03)