hahahaha,,,
sebenarnya ada banyak gagasan yg menggumpal dan bersemayam d otakku.. cuma karna jari jemariku yg sekarang agak malas buat ngetik,, jangankan ngetik, buat nulis aja rasanya berat banget kaya ada akar-akar pohon yg udah bergelayutan menggantung dan bikin males buat nyabutnya,, pokoknya ni jari udah gag selemah gemulai tempo dulu yg demen banget ngayal sm nyiptain karya-karya konyol yang nge-show juga secara konyol di mading sekolah,, (hemm..jd inget sesuatu..) :)
Yahhh,,intinya,, hari ini aku nyoba mau ngeblog. Tapi blum bisa ngerangakai ide.. (Kepikiran Final Project.. *padahal g segitunya juga sih..) So..aku buka-buka file lama, yang kalo aku pikir-pikir lg, itu adalah tulisan konyol jamannya waktu masih ALLAYYY.. :-p
Tapi.. beberapa cukup bikin aku bangga soalnya pernah terbit di Majalah kalangan Sendiri di SMA... hehe
hummm... langsung aja deh,, ini salah satu cerpen yg pernah aku bikin ,, meski anak sma banget cerita sm alurnya jg bahasanya ..mungkin.. tapi salah satu karya yg gak bikin malu-maluin juga buat di terbitin di Majalah.. meski majalah buat kalangan sendiri..
Detektif Kaca
(hehe.. insert gambarnya Jaejoong Oppa ya.. :D)
Bel pulang sekolah telah berbunyi,
segera aku menuju tempat parkir, di mana aku memarkir motorku. Di depan pintu
gerbang kulihat Tiana yang sedang berdiri menunggu angkota. Wah, kesempatan
emas buat pedekate, pikirku.
“Hai, Tiana! Lagi nunggu angkota ya?” sapaku.
“Eh, Wimas! Iya nih, lagi nunggu
angkot”.
“Oo…, eh, daripada nunggu angkot
kelamaan, mending aku antar kamu pulang, gimana?” tawarku.
“Emm…gimana ya? Tapi…”.
“Udah deh…, gak usah dpikir lagi,
daripada kamu kepanasan kaya’ gitu, kasihan tuh kulit kamu yang mulus ntar jadi
gosong!” candaku.
“Iya deh…!”
Yes! Akhirnya dia mau juga aku antar
pulang. Dalam perjalanan pulang aku utarakan perasaanku padanya.
“Na, napa sih, kamu nolak Satya
waktu dia nembak kamu?”.
“Hah, mmm…, gak kok, waktu itu aku
emang gak kepingin pacaran dulu, cuma itu kok! Emang kenapa?”.
“Ah, gak,…tapi…sekarang apa kamu gak pingin
pacaran?”.
“Sebenarnya… aku ingin, tapi…, eh kamu kok
tanyanya gitu sih?”.
“Eh, mm…, sebenarnya… aku juga suka
ma kamu…, mau gak jadi pacar aku?” tanyaku memberanikan diri.
Tiana hanya terdiam, kulihat dari
spion motorku wajahnya yang berubah merah dan dia hanya menunduk. Wah, gimana
nih…? Diterima gak ya?
“Wimas! Berhenti! Itu rumah aku,”
suaranya membuyarkan lamunanku. Kuinjak remku hingga motorku berhenti tepat di
depan rumahnya. Tiana turun dari motorku.
“Wim, thanks
yah!”.
“You are welcome! Eh, gimana? Yang
tadi…?”.
“Emm…, gimana ya? Kasih aku waktu
ya?” pintanya. Yah, apa boleh buat. “Oke!” jawabku.
Saat aku akan menstater motorku,
ayah Tiana keluar dari rumah. Dia terlihat tergesa-gesa.
“Tiana! Ayah harus segera pergi, ada
kasus pembunuhan di jalan Beling, nomor 13, tapi ayah tak tahu harus bagaimana
ke sana, tadi motor ayah dipinjam oleh pak Eko,” jelasnya.
“Apa? Jadi… bagaimana?”. Mereka
tampak kebingungan.
“Om,
bagaimana kalau saya antar Om?” aku menawarkan
bantuan pada ayah Tiana, itung-itung biar diijinin jadian ma anaknya.
“Oh ya, wah terima kasih sekali nak
Wimas!”.
“Ah, tidak apa-apa kok, sekalian
saya pingin tahu gimana seorang detektif seperti Om Juan menyelesaikan kasus”.
“O…, ya ya mari, Tiana jaga rumah
baik-baik!”.
“Iya, Yah”.
Dengan segera aku melaju bersama Om
Juan menuju tempat kejadian yang dituju Om Juan. Kira-kira dengan kecepatan 100
km/jam, kami sampai di sana
selama 15 menit.
Di tempat itu, sudah banyak polisi
yang lalu lalang, memberi garis batas polisi. Om Juanpun segera menemui salah
seorang polisi itu. Sedang aku mengikuti Om Juan di belakangnya dan berjalan
agak jauh darinya.
“Hei! Kamu, ngapain di sini? Ini bukan tempat
bermain, ayo pergi!” bentak seorang polisi yang sempat mengagetkanku. Om Juan
yang mendengarkan hal itu segera menghampiriku.
“ Maaf Pak, ini asisten saya, walau
berseragam SMA, tapi dia anak yang cerdas, sering membantu saya menyelesaikan
kasus,” jelas Om Juan kepada polisi itu.
Asisten detektif? Anak yang cerdas?
Yang benar saja? Bahkan nilai-nilai ulangankupun sering mendapat angka merah.
“Oh…, asisten detektif Juan? Maaf,
saya tidak tahu, siapa namamu nak?” tanya polisi itu dengan ramah.
“Wimas, Pak!”
“Baiklah, saya akan menerangkan
kejadiannya”.
Polisi itupun mulai bercerita, orang
yang terbunuh adalah laki-laki bernama Fandi, usianya 42 tahun, perkiraan
kematiannya adalah pagi tadi sekitar pukul 06.00 pagi. Penyebab kematian adalah
tusukan pisau dapur berukuran 15 cm. Posisi korban masih di atas tempat tidur
dengan memakai piyama. Kamar korban berantakan. Diperkirakan telah terjadi
perampokan. Menurut istri korban seperangkat perhiasan hilang, namun anehnya
barang-barang seperti uang dan HP ataupun barang – barang elektronik lainnya
tetap pada tempatnya. Kaca jendela berukuran 2 m2 pecah, kacanya
berantakan di luar kamar. Di meja kamar terdapat segelas air putih dan obat
tidur. Kata istri korban, korban memang sulit tidur, jadi dia biasa minum obat
tidur. Rena, 20 tahun, adalah anak korban yang menemukan korban pertama kali
pada pukul 10.00. Dia baru pulang dari kuliahnya, di Bandung. Waktu itu dia
memanggil ayahnya, tidak ada yang menyahut, sampai dia menggedor-gedor pintu
kamar korban. Lalu, karna ada yang aneh dia meminta salah seorang tetangga
mendobrak pintu itu, dan saat itulah Rena menemukan ayahnya, tuan Fandi sudah
tak bernyawa. Istri korban, Nyonya Eka, 40 tahun juga baru datang pukul 12.00.
Dia baru datang dari luar kota,
sejak kemarin pagi. Sedang anak laki – lakinya… Belum sempat polisi itu
bercerita tiba-tiba ada yang datang.
“Ayah!… Dimana ayahku?!” kata
laki-laki itu. Eh…! Bukankah itu Arda, anak kelas XI IA 3.
“Tenang! Tenang…! Kami mohon adik
untuk tenang!” kata seorang polisi menenangkanya. Lalu dia dibawa ke tempat Ibu
dan kakaknya. Sedang aku diajak Om Juan melihat kamar korban.
Benar apa yang dikatakan polisi
tadi, sungguh berantakan. Foto-foto dindingnyapun berjatuhan, tinggal kalender
yang masih menempel pada dinding putih itu. Aku membaca tulisan yang ada di
kalender itu, tanggal 28 Mei, hari ulang
tahun pernikahan yang ke 18. Berarti seminggu lagi, kasihan, tapi dia sudah
meninggal.
“Bagaimana nak Wimas? Kamu temukan
sesuatu yang aneh?” tanya Om Juan tiba-tiba.
“Eh! Iya, tapi mungkin hanya
perasaan saya saja, maklum baru pertama kali melihat kejadian seperti ini,”
kataku.
“Jangan bicara begitu, perasaan itu
sering ada benarnya juga. Oh ya, sudah jam 04.00 sore, nak Wimas tidak segera
pulang?” tanya Om Juan.
“Tidak, apa-apa kok. Saya sudah
terbiasa pulang telat. Paling-paling nanti Ibu pasti mengerti penjelasan saya,”
terangku.
“Tapi… lebih baik Nak Wimas pulang
dulu, terima kasih sudah mengantar Om! Besok
Nak Wimas main saja ke rumah!”.
“Wah, sudah barang tentu! Siapa yang
gak mau Om? Apalagi ada anak gadis Om yang cakepnya minta ampun!” candaku.
“Ah… kamu ini…!”
Karena aku juga sudah bosan di
tempat itu, akhirnya akupun pulang juga.
Hari ini, sekolahku heboh dengan
peristiwa kematian ayah Arda. Mereka membicarakannya seolah-olah mereka tahu
kejadiannya, bahwa rumah Arda dirampok.
“Wim, dah tahu berita tentang ayah
Arda, anak IA 3 itu kan?”
tanya salah seorang temenku, Dahyu.
“Eh, kamu Yu? Ya, malah kemarin aku
ke rumahnya, bareng ma bokapnya Tiana, alias Detektif Juan.” Terangku.
“Wah… hebat dong, jadi hubungan kamu
ma Tiana udah direstui ma bokapnya?”
“Hubungan apaan? Orang aku nembak
dia juga baru kemarin, dia juga belon jawab mau jadian ma aku pa gak.”
“Yah elo, kurang canggih sih, kalo
dia belon jawab mau jadian ma kamu pa kagak, boleh dong gue juga nembak dia?”
“Sialan lu, ma temen sendiri juga,
baru juga diputus ma Laina. Gak kapok lu?” tanyaku agak sedikit marah.
“Sorry, sorry! Iya deh, gue gak akan
gangguin Tiana,” katanya sambil ngeloyor pergi.
Sudah tiga hari setelah kematian Om
Fandi, ayah Arda. Aku berada di ruang tamu, di rumah Tiana.
“Na, aku haus nih, boleh minta
airnya gak?” pintaku yang udah dehidrasi karena udara siang itu terasa panas
sekali.
“Eh, iya sampai lupa. Ntar aku
ambilin, tunggu ya?” katanya sambil berdiri dan pergi ke dalam.
“Yo hah! Jangan lama-lama ya!”
Beberapa menit kemudian Tiana muncul
dan menyuguhkan segelas jus jeruk yang dingin di hadapanku. Mungkin karena aku
terlalu haus langsung aku sahut gelas itu, tapi…alangkah cerobohnya aku, gelas
itu tersenggol dan…pecah! Oh, Tuhan!
“Oh, tidak! Ma…maaf Tiana, gue gak
sengaja!” kataku gugup.
“Ee…, gak pa-pa kok, udah biarin
nanti biar aku beresin.”
Duh… malunya aku, udah mecahin gelas
orang, pa lagi di rumah orang yang aku sayang. Kaca-kaca gelas itu berserakan
di lantai.
“Tunggu!” tiba-tiba aku teringat
peristiwa tiga hari lalu di rumah Arda.
“Kenapa Wim?’ tanya Tiana.
“Na! Apa ayahmu sudah menemukan
orang yang membunuh ayah Arda?” tanyaku tiba-tiba.
“Seingatku…, belum!”
“Di mana ayahmu sekarang?!”
“Ada apa nak Wimas?” tiba-tiba ayah Tiana
muncul dari dalam rumah.
“Om,
saya tahu orang yang telah membunuh Om Fandi.” Lalu aku menceritakan apa yang
aku ketahui kepada Om Juan. Langsung saja beliau menghubungi Polisi dan segera
menyuruhnya menangkap Rena, anak permpuan Om Fandi.
Om Juan memintaku untuk ikut ke
kantor polisi. Aku pergi ke sana
bersama Tiana. Kami berbonceng berdua, sedangkan Om Juan menaiki motornya sendiri.
Sampai di kantor polisi, aku
mendengar keributan antara Rena dan keluarganya dengan polisi yang
menangkapnya.
“Tenang, tenang! Baik, kami akan menjelaskan
bukti-buktinya,” kata seorang polisi.
“Bukti apa? Mana mungkin aku
membunuh ayahku sendiri?” kata Rena yang membela diri.
“Pak, mengapa jadi anak saya yang
dituduh membunuh suami saya? Itu tidak mungkin Pak!” bantah Ibu Rena.
“Ibu Eka, tenang, akan kami
jelaskan,” kata polisi yang sejak tadi berusaha menenangkan kedua orang itu.
“Maaf begini, saya akan menjelaskan
semuanya,” Om Juan akhirnya angkat bicara. “Korban meninggal akibat tusukan,
tapi aneh, jika yang membunuhnya adalah perampok, mengapa mereka hanya
mengambil perhiasan Nyonya Eka saja, kemungkinannya karna pelaku memang tidak
bermaksud merampok. Kedua, pintu kamar korban dalam keadaan terkunci, hanya
kaca jendela pecah, yang mungkin digunakan pelaku untuk masuk ke kamar. Tetapi,
mengapa pecahan kaca ada di luar kamar, jika pelaku masuk melalui jendela itu,
seharusnya pecahan kaca itu ada di dalam kamar, kecuali pelaku masuk melalui
pintu kamar kemudian mengunci pintu, membunuh Tuan Fandi, memecahkan jendela
dan keluar lewat jendela tersebut,” jelas Om Juan.
“Lalu apa buktinya?” Rena membentak.
“Pernyataanmu waktu itu buktinya,”
Om Juan menjawab. “Kamu bilang, kamu memanggil-manggil ayahmu yang jelas-jelas
seharusnya pada jam kerja kantor seperti itu biasanya beliau tidak ada di
rumah. Lalu, mungkin memang kamu membunuh ayahmu menggunakan sarung tangan atau
apapun, tapi kauceroboh, melepas sarung tangan sebelum keluar dari ruangan,
kami menemukan sidik jarimu di pecahan kaca itu, kenapa ada sidik jari anda?
Bukankah kamu belum pulang sejak sebulan lalu? Oh ya, Nyonya Eka, apakah Rena
adalah anak kandung kalian?”.
“Eh, darimana anda tahu?” tanya
Nyonya Eka keheranan.
“Pada kalender yang ada di kamar
korban tertulis bahwa tanggal 28 Mei mendatang adalah hari ulang tahun
pernikahan kalian yang ke 18, tapi mengapa Rena sudah berusia 20 tahun? Apakah
dia anak yang lahir di luar nikah?” tanya Om Juan.
“Iya, aku memang bukan anak mereka,
tapi anak orang yang telah dibunuh oleh Fandi!” terang Rena.
“Apa!…,” Nyonya Eka terkejut.
“Iya! Saat di Bandung aku melihat
sebuah rumah yang kurasakan tidak asing bagiku. Aku teringat kejadian saat aku
berusia 3 tahun. Fandi datang ke rumahku, dia bertengkar dengan ayahku dan
mendorong ayah hingga jatuh dari tangga. Ibuku tiba-tiba datang dan melihat
kejadian itu, beliau memukuli Fandi dengan menangis, tapi Fandi malah
mendorongnya juga, dan… kedua orang tuaku meninggal. Aku yang tidak tahu
apa-apa hanya menangis dan menurut saja sewaktu dibawa pergi olehnya…,”
ceritanya sambil menangis.
Nyonya Eka pingsan mendengar cerita
Rena, lalu beliau dibawa ke rumah sakit. Sementara Rena, harus mendekam di
balik jeruji besi itu.
“Detektif Juan, terima kasih atas
bantuannya. Anda memang detektif hebat,” kata seorang polisi memuji Om Juan.
“Ah, sebenarnya yang memecahkan
kasus ini adalah Wimas. Berkat dia kasus ini dapat terungkap.”
“Oh…, ya ya, asisten Detektif Juan,
nak Wimas memang hebat,” puji polisi itu padaku. Sementara aku hanya tersenyum
dan salah tingkah dibuatnya.
Setelah kasus itu selesai, aku antar
Tiana pulang. Ayahnya masih di Kantor Polisi.
“Syukurlah ya Wim, pelakunya dapat
ditangkap. Kamu hebat dapat membantu ayahku menyelesaikan kasus itu,” Tiana
memujiku hingga aku lagi-lagi salah tingkah dibuatnya.
“Ah, itu hanya kebetulan saja kok.
Tapi sebenarnya ada satu kasus lagi yang belum terselesaikan,” kataku.
“Kasus apa?”
“Kasus yang terjadi sebelum kasus
Rena, aku harap kamu gak lupa. Aku pingin segera menyelesaikanya, jadi… apa
jawabanmu?” tanyaku tak sabar.
“Emm…, bukannya aku mo nyakitin
perasaanmu, tapi…. Maaf, aku gak bisa, lebih baik kita temenan aja.
Sebenarnya…, aku menyukai orang lain.”
“Apa? Siapa?!” tanyaku kecewa.
“Dahyu,” jawabnya singkat.
“Maksud kamu…, Dahyu Cahyana…, sobat
aku?!”
“Emangnya…ada berapa Dahyu Cahyana
di sekolah kita?” katanya berbalik tanya padaku.
Ya Tuhan! Tiana…! Kenapa harus
Dahyu?…